Selasa, 15 November 2011

Benarkah Syi’ah pernah menjadi faham keagamaan di Minangkabau?

oleh: Faqir ila Rahmatillah Apria Putra

Dunia Melayu, nusantara termasuk di dalamnya Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya, merupakan wilayah yang kuat menganut Islam atas i’tikad Ahlis Sunnah wal Jam’ah dengan Mazhab Syafi’i serta ber-Tasawwuf lewat kearifan Tarikat-tarikat Sufi. Hal ini telah menjadi kenyataan sejak berabad-abad ketika Islam masuk ke daerah ini. begitu pulalah Minangkabau. Ranah Minang pernah menjadi pusat keislaman yang kuat menganut amal sunni dalam akidah, mazhab syafi’i dalam Syari’at dan Tarikat Sufi dalam Tasawuf. Hal ini diperkuat oleh temuan manuskrip-manuskrip tua yang umurnya telah berabad-abad, yangmana kajian-kajian fiqih yang terdapat dalam lembaran-lembaran lama itu berdasarkan mazhab Syafi’i, kajian Tauhid berdasarkan Ahlussunnah dan kajian Tasawuf menurut jalur al-Ghazali dan al-Junaid. Berikut, Tambo-tambo lama yang ditulis tangan Arab Melayu, yang sangat kental dengan nuansa Islam, itupun tidak terbertik satu fragmentpun yang dinisbahkan kepada ajaran selain Sunni. Tidak ditemui satupun bukti yang meyakinkan bahwa Minangkabau dahulunya pernah didonimasi ajaran lain, seumpama Syi’ah atau Mu’tazilah.

Bagaimana dengan adanya Syi’ah yang dilontarkan oleh segelintir Sejarawan kemudian? Dalam Sejarah Minangkabau yang ditulis oleh MD. Mansur, dkk, menyebutkan bahwa Minangkabau pernah dihuni oleh Syi’ah, dipimpin oleh orang Syi’ah pula, rentang waktunya ialah lk. 1000-1350. Namun, jika diteliti keterangan buku itu, maka tak sulit mengemukakan bahwa keterangan ini bersumber dari Mangaraja Onggang Parlindungan dalam buku-nya yang kontroversia “Tuanku Rao”, sebab sebelum Parlindungan tak ada satupun buku atau catatan Belanda yang menegaskan hal tersebut. Dan menurut para ahli, disertai dengan seminar “Islam di Minangkabau” 23-26 Juli 1969 di Padang, menyimpulkan bahwa buku “Tuanku Rao” tidak lagi layak sebagai sumber sejarah, sebab kebanyakan isinya merupakan hal-hal baru yang tidak pernah ditemui dalam referensi lain, adapula yang tak masuk akal, ada lagi yang berseberangan dengan fakta. Hal ini telah dikupas dengan jeli oleh Hamka dalam “Antara Fakta dan Khayal”-nya. Sehingga seketika itu jatuh harga buku itu, dari dielu-elukan, hingga dinyatakan “tamat” riwayatnya. Bantahan Hamka mengenai buku itu dikokohkan oleh Seminar Tuanku Rao di Lubuk Sikaping, Pasaman, tahun 2008, yang dihadiri oleh Dr. Bachtiar Chamsah (Mensos RI), Ismail Hasan (Penasehat MUI Pusat), Drs. Syarnir Aboe Nain (Lembaga Kajian Gerakan Paderi), Haedar Nashir (PP Muhammadiyah), Prof. Gusti Asnan (Guru Besar Sejarah Unand), Dr. Saafroeddin Bahar (Dosen UGM), Dr. Ichwan Azhari (Pusat Studi Sejarah Universitas Negeri Medan), Prof. Mestika Zed (Guru Besar Sejarah UNP) dan tak ketinggalan Prof. Taufik Abdullah (LIPI), yang mana salah satu rumusan dari seminar tersebut bahwa buku “Tuanku Rao” dan buku yang senada tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Namun, Sedjarah Minangkabau telah menjadi bacaan wajib ketika hendak mengkaji Sejarah Minang kemudian hari, sehingga Sirajuddin Abbas-pun bersikeras bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau. Begitulah halnya.

Tulisan terbaru mengenai keberadaan Syi’ah dalam lembar sejarah Minang ialah dalam Suluh Bendang Limbago Pucuak Adat (sebuah majalah yang dikeluarkan oleh Limbago Pucuak Adat Alam Minangkabau, Istano Silinduang Bulan Batusangkar, 2010), lewat sebuah tulisan yang bertajuk Sejarah Ringkas Sejarah Pagaruyung Darul Qarar dimana didalamnya disebutkan bahwa pada tahun 1403 kerajaan Pagaruyung masa itu dipimpin oleh Sultan Bekilap Alam, yang dinyatakan sebagai kerajaan Islam sekte Syi’ah Karamita yang dekat dengan sunnah. Hal ini tentu mengherankan, sebab Syi’ah sekte Karamita sebenarnya termasuk aliran Syi’ah yang ghulat (melampaui batas) sangat bertentangan sunni. Sekte ini karena keterlaluannya bahkan mengajarkan bahwa shalat hanya 2 kali sehari, membolehkan nikah dengan ibu kandung atau anak gadis sendiri, minum tuak halal, prilaku homo ala kaum Luth legal, dan lainnya yang sesat-sesat. Sedangkan Minang terkenal kuat adatnya, nikah dengan saudara sesuku saja dilarang, apatah lagi dengan ibu dan anak gadis kandung, Nauzubillah. Maka tak meleset kiranya bahwa sumber penulisan ini ialah sumber pertama tadi atau buku yang mengutip dari sumber pertama tersebut. Sebab, bagaimanapun, menurut penyelidikan Hamka, tidak ada satu referensipun yang menegaskan bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau. Apakah itu catatan manuskrip atau hasil penyelidikan.


Foto: Tabuik di Pariaman, yang sering dituding sebagai bukti kuat Syi'ah di Minangkabau. (Foto: Apria Putra, 2008)

Kenyataannya, yang ada cuma indikasi dari beberapa tradisi yang sering dihubungkan dengan Syi’ah. Seorang sarjana Belanda memang pernah berujar “ada kemungkinan pengaruh syi’ah memang ada di Minangkabau.” Dengan bukti perayaan Tabut. Tapi kenyataannya, dalam riwayat dikemukakan bahwa Tabut mulanya berasal dari permainan rakyat yang kemudian dibawa-bawa ke ranah agama. Beberapa pemuka Syathariyah yang sempat di temui di Pariaman mengingkari (tidak setuju) dengan Tabut ini. Adapula yang mengatakan bahwa ber-Shafar peninggalan orang Syi’ah. Maka pendapat ini juga keliru. Bershafar baru dimulai pada abad XIX, diperopori oleh Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi, dan Syekh Abdullah jelas-jelas sebagai pemuka Tarikat Syathariyah, bermazhab Syafi’i. Kemudian ada lagi yang menyebutkan bahwa Kuntu merupakan basis Syi’ah, tapi tidak pula kejelasan. Menurut bagian Agama di-Kuntu, benda-benda kuno yang ditemui di daerah ini ada sebilah pedang dan sebuah kitab bertulis tangan yang berjudul Fathul Wahab. Naskah ini jelas merupakan kitab fiqih, ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka al-Azhar beberapa abad silam, alim terkemuka dalam Mazhab Syafi’i. Bila disebut Ulakan sebagai pusat Syi’ah, pendapat ini juga tertolak mentah-mentah.
Sebab Ulakan dengan Syekh Burhanuddin-nya merupakan pusat Islam bermazhab Syafi’i dan bertasawuf dengan Tarikat Syathariyah. Andai pula dikatakan bahwa ada ditemui teks-teks yang menyebutkan kebesaran Ahli Bait (termasuk Ali), maka itu bukan pula bukti. Sebab menghormati Ahlil Bait dalam sunni memang dianjurkan. Maka dengannya hingga saat ini belum ada bukti bahwa Minangkabau pernah didominasi oleh faham-faham diluar Ahlussunnah wal jama’ah (sunni), Mazhab selain Syafi’i atau Tasawwuf ghair mu’tabar.

Terakhir, marilah kita mengutip kesimpulan Azyumardi Azra mengenai Syi’ah ini, setelah mendalami semua pendapat sekaligus dengan rujukan-rujukannya, ia mengatakan semua kemiripan itu tidak bisa dijadikan alasan bagi mendalamnya pengaruh syi’ah, khususnya sebagai faham teologi dan ideologi. Katanya, harus diingat bahwa kecendrungan persianisasi terjadi berbarengan dengan proses yang disebut Marsall G.S. Hudgson sebagai “re-universalisasi” Sunni atas “Sunniisasi” dunia Islam. Dalam kaitan ini dunia Islam, termasuk Indonesia, dilanda oleh gelombang kuat untuk kembali kepada orthodoksi Sunni dengan menekankan urgensi Syari’ah (hukum Islam) dalam kehidupan muslim.

Sumber penulisan:
1. Hamka, Mazhab Syafi’I di Indonesia dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
2. Sirajuddin Abbas, I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000)
3. Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Kitab Menerangkan Perkembangan Agama Islam Semenjak Dahulu dari Syekh Burhanuddin sampai ke zaman kita sekarang (manuscript)
4. Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau: Suntingan Teks disertai Analisis Struktur (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
5. Zuriati, Undang-undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi (Padang: Universitas Sastra Universitas Andalas, 2007)
6. M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1957)
7. MD. Mansur, dkk, Sedjarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970)
8. Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
9. Marjohan (ed), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah (Yoyakarta: PP Muhammadiyah dan Pemkab Pasaman, 2009)
10. Tim Redaksi, Suluah bendang Limbago Adat (Batusangkar: Limbago Pucuk Adat Alam Minangkabau Istano Silinduang Bulan, 2010)
11. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuhfatur Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-mukmin wa ma yafsuduhu min riddatil muridin (jeddah: al-Haramain, t. th)
12. Asril Ma’az, Sekilas Lintas Sejarah Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi (naskah tidak diterbitkan )
13. Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak Mandaki Adat Menurun (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2002)
14. Adrianus Khatib, Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau (Disertasi pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991)

Kamis, 03 November 2011

Sjech Tuanku Limopuluah Malalo (1730-1930): Ulama Besar Pendekar Syathariyah di Pedalaman Minangkabau

Oleh : Yang Taqshir Apria Putra
Berdasarkan perjalanan ke Surau Uwai Limopuluah di Malalo, juni 2011. Dilengkapi keterangan Tuanku Lubuak Ipuah, berikut cacatan arsip-arsip lama dan inskripsi penghargaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1929.

Beliau masyhur digelari dengan Uwai Limopuluah Malalo, tokoh dikenal sebagai salah seorang ulama besar Tarikat Syathariyah. Beliau mempunyai jaringan intelektual yang luas dikalangan ulama-ulama Minangkabau, apakah di Rantau, sebagai pusat Syathariyah, maupun di Darek yang dipandang secara gamblang menjadi pesaing Ulakan. Disamping itu, ulama yang satu ini mempunyai karir serta reputasi yang sangat diperhitungkan dalam membidani surau-surau basis Tarikat di Pesisir maupun di pedalaman Minangkabau.


Meski menjadi salah satu icon inti dalam jaringan pendidikan di abad XVIII hingga akhir awal abad XX, namun tak banyak sumber yang berbicara langsung mengenai tokoh yang satu ini. bukti keterkaitan beliau selanjutnya kita lihat dalam silsilah keilmuan Tarikat Syathariyah, dimana cukup banyak ulama-ulama di abad XIX dan XX, yang mengaitkan keilmuan mereka kepada Tuanku Limopuluah ini.

Demi melihat sejarah intelektual beliau, kita akan mendapati berbagai macam kesaksian tentang ketokohan ulama ini. Dalam satu besluit gubernur jenderal pemerintahan Belanda, yang dipahat pada sebuah marmer, terdapat inskripsi yang menginformasikan wafat beliau. Beliau dicatat wafat pada tahun 1930, dalam usia yang sangat sepuh, yaitu 200 tahun. Bisa dibayangkan berapa peristiwa besar sepanjang abad XIX telah dijalaninya diusianya yang panjang itu, terutama dalam membina karir intelektual, dalam ranah keulamaan Syathari.

Foto: Keindahan Danau Singkarak, tempat terletaknya Kampung Malalo, Mukim Syekh Tuanku Limopuluah

Bila kita hitung mundur dari informasi wafat Tuanku Limopuluah, kita dapati bahwa tahun kelahiran beliau ialah diawal abad XVIII, tepatnya tahun 1730. nama kecil beliau ialah Djinang, setelah dewasa yang agak alim digelari dengan Pakiah Madjolelo, dan setelah menjadi ulama terkemuka masyhur disebut dengan Tuanku Limopuluah Malalo. Ada beberapa versi kisah yang diterima dari sumber-sumber oral di Malalo mengenai sebab pemakaian gelar “Limopuluah” setelah tanda keulamaan “Tuanku”. Yang pasti ungkapan “Limopuluah” merujuk kepada sebuah negeri, yaitu Luak Limopuluah, salah satu daerah di pedalaman Minangkabau yang termasuk wilayah asal (inti) Minangkabau. Versi pertama menyebutkan bahwa gelaran “Limopuluah” berasal dari dedikasi intelektual beliau ketika berdebat dengan ulama-ulama “Limapuluah Kota”. Inti perdebatan yang dimaksud ialah mengenai permasalahan “Martabat Tujuh”, kajian filosofis dalam Tarikat Syathariyah. sebagaimana disebut dalam beberapa sumber, terdapat polemik yang cukup hangat antara ulama-ulama Darek dengan ulama-ulama Pesisir dalam hal Tarikat ini. Ulama Darek kala itu, yang secara genetis dikenal sebagai pembaharu, mengungkapkan kajian Martabat Tujuh yang dibawa oleh pemuka Syathariyah merupakan satu materi yang rumit, sehingga hanya dapat dipahami dan diajarka oleh ulama-ulama besar yang mumpuni seperti Syekh Abdurrauf Singkel. Selain itu, pengajian Martabat Tujuh yang berkembang dikalangan ulama-ulama masa itu sudah terlalu jauh melewati ranah filsafat metafisika yang rumit, bahkan terkadang bisa membawa kepada kekufuran. Sedangkan ulama-ulama pemangkunya tidak dipandang begitu alim untuk mengajarkan faham yang pelik ini. selain itu juga ada sementara kalangan yang mencap kajian ini sebagai celah menjadi Zindik, bukan memperdekat, malah memperjauh dari ketuhanan. Tak banyak ulama-ulama Syathariyah yang maju kedepan membela ajaran mereka, kebanyakan nampak berdiam diri. Namun tidak begitu dengan Uwai Limopuluah.

Salah satu daerah yang dihuni oleh ulama-ulama ialah Luak Limopuluah, disana telah dinyatakan sengketa terhadap faham “Martabat Tujuh”. Melihat demikian diadakanlah semacam muzakarah untuk membicarakan faham yang pelik tersebut dimuka sekalian ulama-ulama Luak Limopuluah, sedangkan dikalangan Syathariyah diundanglah Tuanku Limopuluah sebagai pembandingnya. Setelah dilangsungkan, ternyata Tuanku Limopuluah dapat mempertahankan argumentasinya terhadap Martabat Tujuh tersebut, meskipun telah berganti-ganti Ulama Limopuluah untuk mendedah sekaligus mendebat pengajian lama itu, tiada yang mampu menjatuhkan hujjah Uwaih. Akhir dari muzakarah itu para ulama Limopuluah mengakui kealiman Tuanku Limopuluah, sehingga digelarilah beliau dengan “Tuanku Limopuluah”, yang berarti Tuanku yang telah mempertahankan kaji “Martabat Tujuh” didepan ulama-ulama Limopuluah. Sehingga sebagian orang mengatakan, kalau tidaklah Tuanku Limopuluah, tentu habis sajalah pengajian Syathariyah ini di Minangkabau.

Versi kedua dari sebab gelaran “Limopuluah” ialah dimana Tuanku ini telah lama menetap dan mengajar di Luak Limopuluah kota. Sehingga digelari sajalah beliau dengan “Tuanku Limopuluah”.

Mengenai jaringan intelektual beliau, kita tidak menemui satu catatan yang sempurna mengenai guru-guru beliau tempat menimba ilmu. Hal ini telah merupakan implikasi dari kitab-kitab peninggalan beliau yang sebahagian besarnya raib, sehingga informasi, betapa besarpun, tidak bisa kita korek dari cacatan-cacatan yang ditinggalkannya.

Dari sumber-sumber yang ada disebutkan bahwa Tuanku Limopuluah pernah menimba ilmu kepada Tuan Syekh Abdullah “Beliau Surau Gadang” (w. 1901), ayah dari Syekh Abbas Abdullah, Padang Japang Payakumbuh. Guru beliau diketahui sebagai seorang ulama besar, pemimpin lembaga pendidikan tradisional “Surau” yang besar di abad XIX, yaitu Surau Gadang Padang Japang. Syekh Abdullah memiliki rantai keilmuan yang kokoh, sebab beliau telah memperoleh ilmu di Surau Taram, dari Tuanku Syekh Sungai Durian. Guru Tuanku Limopuluah lainnya yang cukup terkemuka dikalangan Syathariyah ialah Tuanku Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah Pariaman, beliau merupakan salah seorang ulama tersohor dalam jaringan Ulama Syathariyah, mempunyai sanad keilmuan hingga Syekh Burhanuddin Ulakan sendiri. Cukup lama Syekh Limopuluah di Lubuak Ipuah, sehingga beliau dipercaya Syekh Lubuak Ipuah untuk mengajar murid-murid yang banyak disurau ini. hanya tokoh ulama ini yang diketahui sebagai tempat pengambilan ilmu Tuanku Limopuluah. Untuk selanjutnya, setelah laam menimba ilmu, Tuanku Limopuluah kemudian kembali ke Malalo dan mendirikan surau terkemuka dikalangan penuntut ilmu belakangan di kaki sebuah gunung. Kemudian hari surau itu dikenal dengan nama “Surau Uwai Limopuluah”.

Sistem belajar yang beliau terapkan di Surau Uwaih ialah sistem kaji duduak (Halaqah) dimana murid-murid mengelilingi guru. Materi yang diajarkan mencakup cabang-cabang pokok keilmuan Islam, yaitu Fiqih, Tauhid dan Tasawuf, disamping ilmu alat berupa Nahwu. Kitab yang diajarkan berupa kitab-kitab klasik dikalangan ulama-ulama Mazhab Syafi’i, seperti Minhajutthalibin (Karya Imam Nawawi) dalam ilmu Fiqih, Awamil dan Fawakih Janiyyah (karya Syekh Khatab) dalam ilmu alat. Kitab-kitab itu disalin dengan tangan oleh murid-murid dari kitab-kitab induk yang berusia lebih tua. Pengajaran Tarikat Syathariyah menjadi pelajaran yang populer tentunya disurau Uwai Limopuluah, namun kita tidak menemui catatan kitab-kitab apa yang menjadi rujukan di Surau Uwai, namun disinyalir, kitab-kitab Syekh Abdurrauf seperti Tanbihul Masyi tetap menjadi pegangan utama.

Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan oleh Tuanku Limopuluah dalam mengajar pengajian Tubuh ialah dalam kesenian salawat Dulang, berupa nyanyian sya’ir-sya’ir dalam bahasa Minang, yang sangat kental dengan pengajian Tubuh. Diantara materi Selawat Dulang (atau Selawat Talam) ini ialah:

Assalamu ‘alaikum e tolan sahabat
O jikalau kito ka mangaji hakikat
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek
Urang mandanga samonyo ingek
Urang ulama banyak nan kiramaik
……………

Lai malainkan suci sungguah Tajali
Banamo Muhammad, banamo Muhammad
Zahir batini, zahir batini
A’yan Tsabitah iyo mangko katantu

Syekh Tuanku Uwai Limopuluah wafat pada tanggal 28 agustus 1930, dan beliau dimakamkan diketinggian bukit Malalo, tidak jauh dari suraunya. Sebelum dimakamkan, ketika dimandikan, nampak betapa beliau digandrungi oleh masyarakat banyak, hingga air bekas mandi beliau itu diperebutkan orang untuk diambil berkahnya.

Cukup banyak ulama-ulama yang menyandarkan silsilah keilmuannya kepada Uwai Limopuluah Malalo. Sebahagian mereka menjadi pionir dari kalangan ulama Syathariyah dkemudian hari, diantaranya ialah:

1. Syekh Angku Aluma Koto Tuo (w. 1961)
Beliau ialah seorang ulama Tarikat Syathariyah di Darek yang mempunyai pengaruh besar, hingga disebut ketika Ulakan tidak lagi menampakkan pengaruh, nyaris Koto Tuo (dalam hal ini Surau Angku Aluma ini) menyaingi posisi Ulakan, bahkan merebut pengaruh Ulakan dikalangan pengikut Syathariyah.

2. Pakiah Majolelo
Mungkin yang orang yang dimaksud dengan Pakiah Madjolelo ini ialah H. Abdul Latief Tuanku Imam Gapuak (1840-1960, dalam usia 120 tahun)

3. Syekh Cubadak Aia Pariaman

4. Syekh Mato Aia Pakandangan

5. Syekh Balinduang Pilubang