Senin, 04 April 2011

Mengenang Ulama besar Minangkabau, penghulu Tarikat Naqsyabandiyah dan guru dari ulama-ulama di Sumatera tengah: Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati al-Khalidi Kumpulan (1764-1914)

Oleh: Apria Putra
(disari dari makalah penulis "Jaringan Ulama Pasaman" yang dipresentasikan pada acara Konservasi dan Preserfasi Naskah Kuno, Fak. Sastra UNAND, 2010)


Foto: Penulis, Apria Putra (no. 3 dari kiri) bersama dengan Tuan Syekh Abu Bakar Tuanku Saidina Ibrahim (bersorban) dan Tim Filologia, di Surau Tinggi, Kumpulan, Pasaman, Maret 2009

Jika ditanya siapa ulama besar atas jalan Naqsyabandiyah di abad ke XIX dan awal abad XX, berpengaruh luas dikalangan orang-orang siak Minangkabau hingga tanah Batak, terbilang dalam catatan-catatan Belanda akan kemasyhurannya, maka Beliaulah Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan, masyhur ditengah-tengah masyarakat dengan “Angguik Balinduang” Kumpulan.
Nama kecil beliau ialah Abdul Wahab, lahir pada tahun 1764. diusia yang masih belia Beliau mengaji al-Qur’an menemui seorang alim di Pasir Lawas – Agam. Tersebut bahwa guru beliau tersebut maklum mahir al-Qur’an dan murid langsung dari Syekh Burhanuddin di Ulakan. Setelah menamatkan kaji di tempat tersebut, Beliau melanjutkan mempelajari hukum-hukum syari’at atas mazhab Syafi’i di Cangkiang, IV Angkat Candung. Kemudian Beliau berangkat ke Mekkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah Haji. Setelah Beliau kembali dari Mekkah, Beliau belajar ilmu Tharikat Naqsyabandiyah kepada mamanda Beliau Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus. Inilah guru Beliau pertama dalam ilmu Tharikat, hakikat dan Ma’rifat. Kemudian beliau pergi ke Mekkah lagi dan di situ beliau bermukim selama 7 tahun, untuk melanjutkan pengajian dalam ilmu syari’at dan secara khusus melanjutkan ilmu Tharikat di Jabal Abi Qubais kepada Maulana Syekh Khalid Kurdi.
Setelah beliau menjadi orang alim pada ilmu Syari’at dan Tharikat, beliau kembali pulang ke Kumpulan. Di Kampung Sawah Laweh Kumpulan, beliau mengajar ilmu agama dalam syari’at dan Tharikat di sebuah Surau yang bernama Surau Kaciak. Karena orang semakin bertambah-tambah menimba ilmu kepada Syekh Ibrahim, maka dibangunlah kompleks surau yang lebih besar dinamai dengan Surau Tinggi.
Syekh Ibrahim mempunyai pengaruh yang luas dikalangan ulama dan masyarakat banyak, maka beliau menepati posisi sentral dalam jaringan ulama setelahnya, terutama dalam jaringan Tharikat Naqsyabandiyah. Diantara murid-murid beliau yang terkenal keulamaannya setelah Beliau ialah:
• Syekh Syahbuddin Tapanuli
• Syekh Muhammad Nur Baruah Gunung, Limapuluh Kota.
• Syekh Muhammad Bashir Lubuk Landur
• Syekh Yunus Tuanku Sasak
• Syekh Daud Durian Gunjo
• Syekh Mudo Tibarau di Kinali
Layaknya ulama-ulama besar dan yang ahli sufi lainnya, Beliau –Syekh Ibrahim- juga terbilang keramatnya, sebagai anugerah Allah akan wali-walinya dan orang-orang shaleh pilihan. Diantara karomah-karomah beliau yang masyhur menjadi buah bibir masyarakat umum ialah menggariskan tongkat Beliau ketika banjir di negeri Talu, sehingga air banjir itu menjadi surut; hilang lenyapnya tulisan-tulisan buku seorang sarjana Inggris yang hendak mendebat beliau dalam masalah Tasawwuf, dan banyak lagi lainnya kisah-kisah tersebut.
Syekh Ibrahim Kumpulan wafat pada tahun 1914, dalam usia 150 tahun. Menurut penuturan masyarakat, sewaktu Beliau meninggal dunia kampung Koto Tuo penuh sesak oleh orang banyak. Kebanyakan dari mereka itu tidak dikenal siapa orangnya dan banyak pula di antara mereka itu yang berpakaian putih-putih. Selain itu muncul keanehan, negeri tersebut penuh dengan kabut putih dan kupu-kupu kuning. Setelah berlalu 40 hari, maka kabut putih dan kupu-kupu kuning itu menghilang sama sekali.

Sosok Hamka dalam karyanya “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”

oleh: Apria Putra


Foto: Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amarullah (Buya HAMKA)
(Sumber foto: Koleksi Kutub Khannah Inyiak Rasul, Maninjau)

Hamka seorang tokoh besar yang penuh teka-teki. Beliau selaku seorang ulama, sastrawan, mufassir hingga sejarawan memang pantas menyandang nama besar karena dedikasi yang tidak ternilai terhadap Islam, dunia sastra hingga kegiatan jurnalistik di Indonesia. Seorang tokoh yang mempunyai segudang kepiawaian dalam bidang-bidang kelas berat, suatu karakter yang langka untuk manusia zaman sekarang. Kepiawaian beliau itu sebanding dengan karya yang banyak dihasilkannya, banyak dan berbobot. Dalam sastra, kemahirannya merangkai kata memang khas, tiada yang sepertinya. Dalam agama, kedalaman faham terhadap kitab-kitab klasik memang patut diajungkan jempol, seorang modern yang mengerti kepustakaan agama tradisionalism secara tuntas. Begitu pula dalam hal sejarah, khususnya sejarah Islam, analisa yang mendalam akan sumber-sumber kesejarahan yang otentik sangat dikuasainya. Khusus untuk bidang terakhir ini, beliau telah menulis buku sejarah Islam yang berjilid-jilid banyaknya, diberi judul populer “Sejarah Umat Islam”, sebuah sumbangan bibliografi yang penting halmana di negeri yang kaya dengan orang besar ini sejarah masih banyak dipertanyakan.
Salah satu karyanya yang cukup mencolok di era-70 itu ialah “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”, sebuah buku bandingan dan koreksian terhadap fakta-fakta sejarah yang dikemukakan MO Parlindungan dalam buku “Tuanku Rao”. Dengan kepiawaian merangkai kata dan gaya penyampaiannya yang lugas, disertai dengan fakta-fakta otentik dari berbagai sumber populer beliau mencoba meruntuh untaian-untaian cerita yang dibangun dalam “Tuanku Rao”. Tak sekedar bandingan kering yang dikemukakan beliau, namun juga disertai dengan analisa sejarah yang tajam, terasa menggelitik, bagi seorang yang tidak pernah belajar history method dibangku formal ini beliau telah dapat menerapkan kritik sejarah dengan baik, diakui oleh pakar-pakar sejarah sekarang ketika seminar “Tuanku Rao” di Pasaman di tahun 2008. Dari buku setebal 365 hal ini, kita akan menemui sosok dan karakter seorang Hamka secara lebih untuh, melalui cerminan ungkapan kata-kata yang beliau tulis di tahun 1974 itu.
Adalah Hamka dalam buku polemiknya itu tersirat karakter beliau selaku orang yang berprinsip, teguh pendirian menguraikan pegangan sejelas-jelasnya, apa adanya dan sesuai pula dengan fakta-fakta lapangan yang akurat. Dalam tulisannya tersebut Hamka secara nyata menolak adanya “Syi’ah di Ulakan”, “Haji Piobang selaku pionir Wahabi yang dikirim ke Minang buat membikin negara Darul Islam”, “Paderi adalah teror belaka”, “Mazhab Hambali di Minang” dan lainnya, hal-hal yang tak termakan kaji dan tak ilmiah, prinsip Hamka. Dalam buku tersebut sangat tercermin keteguhan hati beliau menegakkan kebenaran menurut yakin hati, bahkan tak segan-segan menyebutkan cerita Parlindungan hanya sebingkai bualan hampa, tak bernilai ilmiah, muncul dari imajinasi khayal semata. Begitu keras Hamka menyindir MOP, bukan sindiran semata-mata benci, tapi sindiran yang timbul dari lubuk kebenaran yang diteguhkan oleh ilmu pengetahuan yang mendalam adanya.
Selain dari keteguhan prinsip yang tercermin, dalam bukunya juga tak sulit diambil kesimpulan bahwa Hamka memang menguasai medan bahas dengan men-dalam, baik dari segi tertib sejarah, hingga literatur penyelidikan beliau yang sulit untuk dicari titik lemahnya. Di sini tampak betapa tinggi tingkat intelektual beliau, selaku seorang besar yang hanya belajar dari surau ke surau itu. Dalam bantahan pedasnya terhadap fakta-fakta “Tuanku Rao”, nyata sekali penguasaan beliau terhadap literatur-literatur orisinil kesejarahan, cara penyampaian yang lugas sekaligus menggelitik, tak hanya itu bantahannya disampul kuat dengan analisis-analisis sejarah yang tajam, sehingga membuat MOP tak mampu berkutik hingga mempertahankan “Tuanku Rao” dari kritikan Hamka sendiri.
Dalam “Antara Fakta…”, Hamka tak hanya piawai memilih rujukan, tapi juga mampu memadukan bibliografi-bibliografi yang kaya, sehingga menjadi hujjah yang kuat, bukti intelektualitas Hamka. Tak hanya buku-buku lokal yang beliau gunakan sebagai bahan, tapi juga buku-buku Belanda, istimewa dalam sumber-sumber Arab, sebuah kemahiran sejarah yang jarang terwarisi oleh generasi sekarang. Maka keteguhan hati serta intelektualitas Hamka dalam Buku “Antara Fakta…” menjadi cermin sosok Hamka yang seutuhnya, beliau selaku tokoh besar nan jarang tandingannya, ulama masyhur terbilang, hingga sejarawan handal yang kaya dengan dalih dan hujjah.