Kamis, 16 Juni 2011

Sastra Ulama Minangkabau : Interpretasi Sufistik dalam Sya’ir

Oleh: Apria Putra

Berbicara tentang geliat Sastra Minangkabau dengan segala haru-birunya membuat kita berada dalam diskursus keislaman yang komplit, begitu sangat menarik. Berawal dari pujangga-pujangga masa silam yang menggores tinta emas dalam kesusastraan Minangkabau, sampai angkatan muda Minang yang kaya berkarya, menyusun prosa dan puisi berdedikasi tinggi.
Meneropong para sastrawan urang awak masa lampau, kita melihat satu ciri khas tempo “doeloe” tersebut. Mereka tak pernah menyebut diri mereka sastrawan, tapi mereka adalah ulama sejati, suluh bendang dalam nagari, penunjuk jalan Ilahi kepada orang banyak. Tapi kemudian hari nama mereka disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan papan atas yang melegenda hingga sekarang. karya-karya mereka yang sarat dengan pengajaran-pengajaran agama menggambarkan perasaan yang dalam, menyusup kalbu, begitu kaya dengan nilai-nilai estetik yang maha dalam. Tidakkah kita mengenal Tuan Syekh Bayang dengan Dār al-Mau’izhah-nya, Inyiak Canduang dengan Sya’ir Yusuf-nya, atau Muhammad Raju dengan Nabi Bercukur-nya, dan banyak lagi yang lainnya. Mereka itu ulama, tapi karena kedalaman cintanya pada Rabb, melahirkan rasa indah yang luar biasa, kemudian mereka pancarkan lewat tinta hitam diatas putih. Lalu jadilah sebuah karya, indah, dalam, penuh estetik yang menyentuh, itulah sastra, sastra Islam istilah populernya.
Itu baru dari Sya’ir dan Puisi religi yang mereka lahirkan, belum lagi dari prosa cerita-cerita hikmah, sungguh sangat tak ternilai harganya. Berakar dari jenis sastra yang mereka gandrungi, kita akan melihat sekilas mengenai sastra Islam itu sendiri sebelum mengkaitkan dengan sastra Minangkabau.
Salah seorang dosen, peneliti sekaligus sastrawan, dalam sebuah forum diskusi perkuliahan berkomentar sebagai tanggapan terhadap pertanyaan salah seorang mahasiswa, “Sebenarnya tidak ada istilah sastra Indonesia atau sastra Islam”. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi penuh makna. Karena yang namanya sastra, lanjut beliau, lahir dari keadaan jiwa yang merasa, bukan karena seseorang itu dalam bingkai suatu kaum atau kelompok tertentu, sebuah jawaban yang logis.
Sebenarnya yang menjadi acuan bersastra ialah keindahan, estetik. Dalam Islam sendiri sangat menekankan nilai estetika ini, bahkan digambarkan bahwa Allah itu Jamil (indah), Dia suka dengan keindahan, begitulah Naql-nya secara sederhana. Dengan demikian apa yang disebut sastra Islam, ialah hasil karya orang-orang Islam itu sendiri tentang agama dan keyakinannya, apa-apa yang dirasakannya, tentunya yang bernilai “indah”, penuh moral, terikat dengan tali syari’ah.
Sungguh agung karya ini, nampak jelas sebuah tonggak keimanan yang terpancang dan terealisasi lewat untaian kata atau dalamnya makna. Seterusnya disebutkan bahwa sastra Islam itu merupakan realita yang berpuncak pada yang Haq. Keindahan yang dibangun berpusat pada kemahaindahan Allah. Karena itu sastra bagi Sufi, adalah membangun cinta dan komunikasi indah dengan yang maha indah sebagai sumber al-Haq. Penghayatan estetik sejalan dengan penghayatan Allah itu indah dan ia amat menyukai yang indah. Para penyair yang cendekia terutama dari kalangan ulama atau sufi, akrab dengan dunia estetik, yang oleh banyak penyair diimplementasikan prinsip mereka tidak membangun Istana di alam terbuka, tetapi istana cinta di kalbunya sebagai pernyataan cinta kepada Allah yang maha indah. Dalam bahasa lain dikatakan, mereka membangun istana cinta di kalbunya itu mengambil konsep orang sufi yakni membangun fana pada dirinya dan membangun Baqa pada Allah SWT.
Begitu dalam perasaan yang dirasakan oleh sufi dalam mengungkapkan ketrasendennya Tuhan, membuat karya-karya mereka sangat kaya dengan keindahan, karena mereka mengambarkan sang maha indah, dialah al-Haq. Itulah sastra Zikir ungkapan Taufik Ismail, profetik menurut istilah sastrawan lainnya.
Begitulah yang terjadi pada jiwa ulama-ulama Minang dahulu, mereka sungguh telah dipenuhi oleh gairah keagamaan yang tinggi, sehingga melahirkan karya-karya khas sufistik yang penuh dengan goresan perasaan murni. Sama halnya dengan Rumi dengan Mastnawi-nya, Ibnu ‘Arabi dengan Futuhat al Makiyyah-nya atau al Hallaj dengan Tawasin-nya, sungguh karya-karya fenomenal dizamannya.
Tak mungkir lagi kenyataan bahwa karya-karya Minangkabau begitu lekat dengan pengalaman-pengalaman sufistik. Sebagaimana yang kita lihat dari tradisi lisan Minang Salawat Dulang. Bait-bait Sya’ir yang didendangkan berisi simbol-simbol sufistik sebagai sebuah interpretasi tasawwuf yang menarik untuk dikaji. Misalnya dalam bait berikut :

Assalamu ‘Alaikum dengan Bismillah
Sekarang ini hendak pahamlah
Hendaklah paham dengan kulimah
Iyo kulimah Laa ilaha illallah.
Hurufnyo ampek kamanjadi Suraha
Ampek alamatnyo kamanjadi masalah
Mulo patamo kulimah La ilaha
Pado lahie tubuah nan kasa
Barupo batampan buliah dikana
bahuruf basuaro dapek didanga
kulimah kaduo Ilaha
tubuah nan halus bukan di lua
melainkan nan halus nan suci bana
kamanjadi Nur kamanjadi nyawa
kulimah katigo illa
kalimah kaampek Illahu
kulimah tujuan hendaklah dikana
pado hakikinyo lah nyato zat
pado majazinyo lah nyato sifat
dio nan asa di alam judat
kamanjadi asa ka manjadi alamat
(Roust, 1999 : 76)

Dari bait-bait tersebut jelas disebutkan bahwa ada beberapa simbol-simbol sufistik dalam Sya’ir yang dikemukakan oleh orang-orang terdahulu tersebut. Karya-karya tersebut masih didendangkan kebanyakan ahli-ahli dendang masa kini. Mereka banyak menyebutkan konsep-konsep sufistik dengan bahasa Sya’ir yang bernilai tinggi dan dengan sastra yang kaya.
Bukan sampai disitu saja, interpretasi Sufistik dalam Sya’ir bagi Masyarakat Minang terlihat dari ritual-ritual kebudayaan yang berkembang kala itu. Misalkan dalam ritual Debus, dalam acara yang dilakukan secara berkelompok di daerah-daerah terpencil Minang itu terdapat ungkapan-ungkapan Sufistik. Misalnya :

Dalam Buluah babuluah pulo,
Dalam buluah rotan baduri,
Dalam tubuah batubuah pulo,
Dalam tubuah insan badiri.
(H. Idris, wawancara, 2006)

Ide sentral dalam bait diatas ialah masalah Martabat Tujuh yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut Syathariyah di Minangkabau, yang nota bene-nya ialah para sufistik.
Melirik tentang ide sufistik dalam karya sastra Minangkabau, maka kita akan menemui perbendaharaan yang tidak habis-habisnya. Bagaikan mutiara, semakin digosok dan diselami sampai kadalamnya, maka kita akan mendapati suatu kekayaan yang menabjukkan, kekayaan yang tidak akan ada habis-habisnya.
Begitulah Minang, ranah nan indah permai ini, tempat simpanan harta pusaka sastra yang menabjukkan.