Rabu, 06 Februari 2013

Dari Ranah Minang ke Negeri Piramid, pergi sebagai “Orang Siak”, kembali sebagai “Orang Salafi (?)”: Dialektika keagamaan Minangkabau kontemporer

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Bagi saya Mesir adalah idaman di masa kecil. Ketika umur masih belia, terdengar cerita-cerita menggugah semangat untuk belajar agama di sana. Berhalaqah di al-Azhar, bertemu masyaikh (para guru) yang besar-besar, berziarah ke makam Imam Syafi’i, Imam Syazili, Sayyid Ahmad Badawi dan sebagainya. Indah diingatan. Namun ketika hidup telah bejalan, ingatan masa kecil itu hanya sekedar pemanis dan pemujuk. Allah belum mengizinkan raga ini untuk menapaki negeri Fir’aun itu. Meskipun begitu, syukur tetap terucap, bahagia tetap terasa. Andaikan dulu saya ke Mesir tentu lain pula kejadiannya, lain pula yang berlaku, barangkali tidaklah saya akan bertemu dengan guru-guru besar di tanah Minangkabau ini. Hikmah semuanya terasa begitu dalam.

Peta: Negara Mesir (Sumber: Athlas Duwal al-'Alam al-Islami (DR Syauqi Abu Khalil) Damsyiq, Dar al-Fikr, 1997, h. 106)

Setelah masa berlanjut. Di rantau orang, saya mempunyai banyak teman keluaran al-Azhar. Ada yang sudah bertahun-tahun di sana, ada pula yang telah menyelesaikan tingkat ‘master’, yang sedang kandidat ‘doktor’, ada pula yang hanya menjadi pelancong-pelancong di negeri itu, pokoknya komplit. Dari mereka saya banyak menerima informasi tentang kegiatan para pelajar Indonesia, terutama pelajar Sumatera Barat, di Kairo. Informasi ini saya cocoknya dengan realita kehidupan keagamaan yang mereka bawa ke kampung halamannya masing-masing, yang cenderung mendapatkan benturan-benturan dengan praktek keagamaan setempat.

Mesir sejak abad-abad silam telah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang ternama. Al-Azhar, tonggak kejayaan itu, telah tegak lebih dari seribu tahun yang lalu. Bagi orang-orang Minangkabau, al-Azhar seakan menjadi mutiara dari beberapa mutiara ilmu. Namun perlu kita ketahui, tidak banyak cacatan yang mengungkap keberadaan ‘orang-orang siak’ (baca: pelajar) kita di negeri tersebut sebelum masuk abad 20. Lokus keilmuan Islam yang terkemuka kala itu ialah Mekah. Meski begitu ada beberapa ulama Minangkabau yang bisa dikatakan sebagai generasi perintis ‘orang siak’ di Kairo, seperti Syekh Thaher Jalaluddin (1869-1956), Syekh Abbas Abdullah Padang Jopang (w. 1957) dan Syekh Janan Thaib Bukittinggi (w. Sekitar tahun 1950-an).

Syekh Thaher Jalaluddin, ulama besar Malaya kelahiran Ampek Angkek Bukittinggi. Beliau belajar ke Mesir setelah bertahun-tahun menimba ilmu di Mekah. Tepatnya tahun 1893. Setelah dari Mesir beliau menetap di Malaya, di sana hingga akhir hanyatnya beliau menapankan karir sebagai ulama ahli Falaq terkemuka. Syekh Abbas Abdullah Padang Jopang Payokumbuah, ulama terkemuka di Sumatera Tengah. Beliau merupakan anak dari Syekh Abdullah Beliau Surau Gadang yang mempunyai salah satu komplek pendidikan Islam yang besar di Payakumbuh. Sedangkan yang terakhir, Syekh Janan Thaib, ialah tokoh yang tercatat sebagai ulama besar yang berkarir di Mekah sampai akhir hayatnya. Ini di antara ulama-ulama Minangkabau yang pernah menimba ilmu di Mesir sebelum abad 20. Ketika memasuki abad baru, generasi Mahmud Yunus (Prof. Dr. Mahmud Yunus, tokoh pendidikan Islam Indonesia kelahiran Batusangkar) dapat dicatat sebagai pelanjut pelajar Minangkabau di Mesir, dan dimasa inilah pelajar-pelajar Minangkabau di Mesir mulai membludak.

Begitulah ‘orang siak’, pelajar Minangkabau di Mesir di masa awal. Mereka tetap selaku ‘orang siak’, sebagaimana ketika mereka pergi dulu. Keterikatan mazhab memang telah menjadi temali bagi pelajar-pelajar Minangkabau untuk belajar di Mesir kala itu. Sebagaimana di kampungnya mereka belajar Fiqih dengan mazhab Syafi’i, di sana mereka juga mendalami mazhab Syafi’i, dan pulang sebagai ulama Syafi’i. Bila mereka pergi sebagai seorang Ahlussunnah wal Jama’ah, di sana juga mendalami i’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah, ketika pulang disematkan sebagai ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Meskipun ada gejolak pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam pikiran mereka, namun itu tidak sampai membutakan mata. Semua seperti awal, semua seperti apa yang telah diwariskan ulama-ulama Minangkabau tempo dulu. Begitulah yang kita temui ketika membaca kitab-kitab karangan ulama-ulama tersebut, apakah karangan dari Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Janan Thaib, Prof. Mahmud Yunus dan lain-lainnya.

Setelah beberapa dasawarsa berlalu. Berbagai hal dan kejadian terjadi. Perang dunia, peningkatan petrodolar negara-negara berkembang, penguasaan Wahabi akan Hijaz dan lainnya, terdapat kecenderungan berbeda dari ‘orang-orang siak’, pelajar-pelajar Minangkabau yang belajar di Mesir ketika pula ke tanah airnya. Hal ini kentara kita rasakan beberapa dasawarsa terakhir. Pulang sebagai pelajar Mesir tentu menjadi tuah sendiri. Orang-orang kampung merasa bangga tiada terkira. Di lihat ‘orang siak’ yang dilepas beberapa tahun yang lalu telah pulang sebagai ‘alim. Ada yang bercemiri, ada yang berjubah, ada yang pulang dengan kitab segudang. Meski kebanggaan dalam hati, besar dikira-kira akan membangun kampung dengan pelajaran agama, namun apa kejadian? Di kampung, alumni-alumni tersebut mengungkap bid’ah amalan-amalan ulama Minangkabau. Katanya: “bapak ibuk telah mengikut buta saja kerja ulama-ulama silam yang tidak berdalil itu. Bapak ibuk telah taqlid, dan taqlid itu tidak boleh.”, “ini haram dan bid’ah”. Zikir jama’ah, tahlil, meniga hari dan menseratus hari kematian adalah pekerjaan bid’ah dan sesat. Hingga sampai terdengar-dengar ejekan terhadap ulama-ulama Minangkabau di masa silam, seperti “Syekh anu, Syekh polan, Syekh fulan, apa hebatnya? Mereka tak tahu dan tak mengerti hadis yang sesungguhnya.” Sambil meneput dada, “saya”.

Mengapa hal ini bisa terjadi dikalangan pelajar dan ‘orang siak’ Minangkabau yang kembali dari Mesir dewasa ini?
Teman-teman saya memberikan informasi senada: “Mesir itu sama saja dengan negeri kita ini. Kalau di negeri kita berbagai-bagai fahamnya, ada yang cenderung kesalafi-salafian dengan mengekor Wahabi, ada yang suka membid’ah-bid’ahkan, ada pula yang netral, ada yang nasionalis, dan ada yang tetap teguh memegang faham ulama-ulama yang silam. Begitu pula di Mesir. Keadaannya seperti itu juga.”

Berbeda dengan mahasiswa Jawa, dan lainnya yang sebahagian besar pulang sebagai muslim moderat dan tetap perpegang sebagai faham semula, Mahasiswa Minangkabau di Mesir saat ini dapat dibedakan kepada 3 kelompok. Pertama, mereka yang terpengaruh oleh ide Wahabi. Kelompok inilah yang pulang ke Minangkabau menjadi corong pembid’ahan praktek keagamaan di kampung halamannya. Mereka menggunakan atribut ‘salaf’ menurut yang mereka pahami sendiri; menyokong pemikiran tokoh Wahabi Muhammad Nasiruddin al-Bani dan rekan-rekannya. Kedua, kelompok pelajar yang cenderung kepada pergerakan ‘Ikhwan al-Muslimin’. Kelompok ini tampak bertentangan dengan kelompok pertama. Dan ketiga, kelompok pelajar diluar kelompok Wahabi dan ‘Ikhwan al-Muslimin’ di atas.

Dimanakah pelajar-pelajar Minang di Mesir belajar Wahabi?

Sebenarnya Universitas al-Azhar ialah lebih menekan sikap moderat, terutama dalam menyikapi berbedaan (khilafiyah). Namun, berdasarkan informasi yang kita terima, pelajar-pelajar Minangkabau yang menciut berfaham Wahabi disebabkan mereka gandrung mengikuti halaqah-halaqah yang diasuh oleh murid-murid Albani di luar al-Azhar, seperti halaqah pengajian Abu Ishaq al-Huwaini dan lainnya. Di sinilah mereka ditempa oleh faham yang sedemikian, hingga mainstrem mereka menjadi tegap terhadap faham itu. Apalagi bagi pelajar-pelajar Minang yang sebelum ke Mesir tidak digembleng secara khusus, tentu dengan mudah beberapa senior mereka di Mesir mengajaknya untuk mengikuti halaqah seperti di atas. Sangat mudah kita mengerti jiwa pelajar-pelajar Minangkabau, meskipun Dr. Ali Jum’ah telah memberikan beberapa sinyalmen terhadap kelompok-kelompok radikal, namun beberapa pelajar telah terkontaminasi, dan itu yang mereka bawa pulang dengan penuh percaya diri.

Memang tidak semua pelajar Minang seperti itu, namun kebanyakan yang kita lihat pulang dengan membuat benturan dengan ulama-ulama lokal sambil berteriak bahwa ulama lokal tersebut tidak faham al-Qur’an dan Hadis, taqlid terhadap tradisi-tradisi jahiliyah, tanpa terlebih dahulu menengok lebih dalam.

Sesuatu yang ironis memang. Pelajar-pelajar yang diharapkan mampu menyambung lisan ulama silam, malah pulang sebagai lawan dari ulama-ulama silam. Alangkah ngeri kita. Namun bagaimanapun, kehadiran pelajar-pelajar yang telah berganti baju menjadi Salafi (?) telah membuka mata. Betapa kita di Minangkabau telah lama terlelap, dan nyenyak. Kehadiran mereka telah membangunkan kita yang terlelap, hingga kita mampu duduk, berdiri, mengembang kembali kitab, membuka dalil, memperkokoh hujjah sebagai ulama-ulama dulu menentang “Kaum Muda”. Niscaya kita tunjukkan bahwa pusaka yang diturunkan oleh ulama-ulama silam dulu ialah al-Qur’an dan Sunnah, dibingkai dalam mazhab Syafi’i, tersimpulkan dalam Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagai disebutkan oleh Imam-imam kenamaan, Asy’ari dan Maturidi.


Sungai Antuan, 6 Februari 2013.