Jumat, 25 Oktober 2013

Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang: Ulama Besar Ahlussunnah wal Jama’ah dari Fort van der Capellen

oleh: al-faqir al-haqir Apria Putra

Artikel ini ditulis secara ringkas, tidak dimaksudkan untuk berpanjang-panjang bicara; namun sekedar usaha kecil untuk pelurus riwayat mengenai ulama kami al-Marhum Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir Sungayang, Batusangkar, yang disebut-sebut sementara orang sebagai “Ulama Kaum Muda” dan “Ulama Wahabi” yang menganut mazhab Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi.

Siapa tak kenal dengan Syekh Thayyib Umar Sungayang. Ulama besar yang mempunyai nama yang harum dikalangan orang Siak (baca: santri) di Minangkabau di awal abad 20. Salah seorang muridnya yang terkemuka ialah Prof. Mahmud Yunus, ulama dan tokoh pendidikan Islam Indonesia. Demikian harumnya, sampai-sampai generasi muda saat ini tetap mengenal namanya, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama pesantren Modern, yaitu Pesantren Syekh Muhammad Thayyib Umar yang disokong oleh alumni-alumni Mesir masa kini.

Kenal nama, tentu kita kenal “Syekh Thayyib Umar Sungayang”. Namun mengenal pribadi secara mendalam, kita belum tentu tahu. Sekedar membuka-buka masa silam yang penuh kegemilangan, kita singkap riwayat ringkas beliau ini; untuk pengingat, untuk mempahamkan kita bagaimana sebenarnya jalan agama di ranah Minangkabau ini.

Riwayat rngkas mengenai Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang pertama kali disitir oleh Hamka dalam buku “Ayahku”, riwayat itu ringkas, tak memuaskan hati. Dari tulisan Hamka, kita mengenal sosok Syekh Thayyib sebagai konco Haji Rasul. Riwayat yang agak lekap dan lebih kita percayai ditulis oleh Prof. Mahmud Yunus, murid kesayangan Syekh Thayyib Umar sendiri. Beliau menulis riwayat gurunya itu dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau”. Selanjutnya riwayat hidup beliau ditulis oleh Tim Islamic Centre Sumatera Barat pada tahun 1981, dikompilasi dalam buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat”. Kita akan sari dari buku-buku masyhur ini, dan kita tambah dengan bahan-bahan yang belum dmasukkan oleh para sarjana tersebut.

Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir dilahirkan di Sungayang, Batusangkar, yang masa itu dikenal dengan nama Fort van der Capellen, pada tahun 1974. Diusia belia, beliau telah belajar dengan beberapa orang guru agama di kampung halamannya. Di usia remaja, beliau meninggalkan kampung halamannya untuk menambah pengetahuan, diantaranya kepada Syekh Abdul Manan Padang Gantiang dan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah Sumatera Tengah, w. 1912). Setelah cukup lama belajar kepada kedua ulama besar ini, Syekh Thayyib Umar berangkat ke Mekah dan mukim disana selama 5 tahun. Diantara gurunya disini ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916), khatib dan guru besar dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Pada tahun 1897 beliau kembali ke Sungayang dan langsung mengabdi mengajar agama di surau Tanjuang Pauah. Pada tahun 1910 beliau membuka Madras School, sebuah madrasah (setingkat pesantren di Jawa) dengan sistem klasikal sebagai trobosan baru sekolah agama masa itu. Syekh Thayyib Umar wafat pada tahun 1920.

Syekh Thayyib Umar: Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah

Sebagai ulama tua Minangkabau, Syekh Thayyib Umar Sungayang ialah ulama yang teguh memegang Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah), sebagai pegangan ulama besar Minangkabau sebelumnya, seperti Syekh Abdul Manan, Syekh Muhammad Shalih Padang Kandih Suliki dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Begitu juga ulama-ulama seangkatan beliau, seperti Haji Rasul, Syekh Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan Syekh Thaher Jalaluddin. Sebagai sokongannya terhadap pegangan ulama Minangkabau itu, beliau karang sebuah risalah yang berjudul “Aqa’id al-Iman”, menjelaskan Aqidah Lima Puluh (terutama Sifat Dua Puluh). Risalah ini dicetak bersama kitab “Irsyadul Awam ilal Islam” karya Syekh Muhammad Zain Simabur Batusangkar.


Foto: Halaman pertama kitab "Aqa'id al-Iman" oleh Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang, berisi tentang penjabaran Aqidah Lima Puluh sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyyah dan Maturidiyyah), dicetak bersama kitab "Irsyadul Awam Ilal Islam" karya Syekh Muhammad Zain Simabur, hal. 137.

Kita ingin membanding beberapa tulisan para sarjanawan yang menyebut Syekh Muhammad Thayyib dengan nada “ulama Wahabi”. Dalam beberapa penelitian disebutkan Syekh Thayyib Umar Sungayang sebagai kelompok kaum Muda (modernis) yang progresif seperti Haji Rasul. Mencap Syekh Thayyib Umar dengan “Ulama Muda” hanya semata-mata berpegang kepada buku “Ayahku”-nya Hamka saja, itu tidak mencukupi untuk sebuah tulisan ilmiah.

Syekh Muhammad Thayyib Umar memang ternyata pernah menulis di Majalah al-Moenir (Padang), majalah Kaum Muda Minangkabau. Namun itu bukan berarti beliau sehaluan dengan Ulama Muda yang Pro al-Manar Rasyid Ridha. Bukan.

Benar Syekh Thayyib pernah menulis sya’ir sindiran terhadap orang siak (para santri). Sya’ir sindiran itu dimuat dalam al-Moenir tahun 1912, diantaranya berbunyi:

Jangan diikut masa yang lata
Menuntut ilmu suatu mata
Sekedar fiqih hanya dicinta
Sehabis umur sendi anggota

Habislah masa fiqih tak terang
Rupa yang sungguh berupa karang
Awaklah faqih disangka orang
Ilmu yang tahqiq dapatnya jarang

Adapun masa dahulu hari
Ilmu dituntut pemagar diri
Sekedar bergelar faqih dan kari
Untuk pelepas rodi negeri
…………
Lebih-lebih di Minangkabau
Guru masyaikh pandai menghimbau
Ditipunya awam seperti kerbau
Ke dalam khalwat banyak terambau


Namun sindiran yang beliau ungkap ini menyerang teman-teman dan guru-guru surau yang menjadikan agama sebagai jualan semata; tidak berikhlas diri belajar dan mengajar agama. Bukan menolak ulama-ulama surau tentunya.

Sebagai bantahannya terdapat cap “Kaum Muda”, Syekh Thayyib Umar Sungayang mengeluarkan pernyataan pada Majalah Soeloeh Melajoe (tahun 1914), bahwa beliau bukannya “Ulama Muda” menganut mazhab al-Manar (majalah Syekh Rasyid Ridha), yang menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab yang Empat.

Syekh Thayyib sebagai guru-guru dan teman-temannya ulama Minangkabau tetap berpegang kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Meski dalam satu dua masalah beliau berbeda dalam furu’ (cabang), dalam ushul (pokok) tetap perpegang kepada tali yang satu. Itulah kemudian yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Thayyib Umar selanjutnya seperti Syekh Abdul Wahid al-Khalidi Beliau Tobek Godang (pimpinan besar Perti), Prof. Mahmud Yunus, Angku Ajhuri, dan lainnya; mereka tetap asy’ariyyah dan syafi’iyyah.

Al-Fatihah.

Ditulis sesaat sebelum berziarah ke makam Syekh Abdul Aziz “Beliau Simpang Kapuak” (w. 1985, dalam usia 175 tahun), Simpang, Luak Lima Puluh Kota.
Se-dha’if manusia, Apria Putra, yang dimasyhurkan orang dengan “Angku Mudo Khalis”.

Senin, 21 Oktober 2013

Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau adalah Pembela “Qunut Subuh” dan “Jahar Bismillah”

Oleh: Hamba yang Dha’if; yang karam dalam taqshir Apria Putra
Tulisan ini berdasarkan kitab “al-Syir’ah fi al-Radd ‘ala man Qala al-Qunut…” (1938), buku “Ayahku” dan “Islam dan Adat Minangkabau” (Hamka), buku-buku lainnya, dan kesaksian mata Abuya H.Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno dan Abuya Drs.H. Abdul Jalal.

Minangkabau (baca: Sumatera Barat) ialah daerah pijakan Muhammadiyah periode awal diluar Jawa. Beberapa disertasi dan tesis mengenai Muhammadiyah di Minangkabau telah ditulis, diantaranya yang populer Dr. Alfian dengan judul terjemahannya: “Politik Modernism Muhammadiyah di Indonesia” (Cornell University), yang fokus penelitiannya ialah Minangkabau, selain Yogyakarta.

Di daerah ini, Minangkabau, organisasi modernis Muhammadiyah cukup berkembang disokong oleh ulama-ulama yang tergolong kepada “Kaum Muda” ketika itu. Ulama-ulama dari Kaum Muda telah menguatkan pengaruh sekitar tahun 1906, diwaktu sebagian ulama mendapat pengaruh Majalah al-Urwatul Wusqa (yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani) dan al-Manar (diasuh oleh Rasyid Ridha, Mesir). Salah seorang tokoh utama “Kaum Muda” di Minangkabau ialah Syekh Doktor fid Din Abdul Karim Amrullah (1879-1949), atau yang lebih dikenal dengan “Inyiak De-er” atau “Haji Rasul”, beliau ialah ayahanda dari Buya Hamka.

Buya Hamka dalam bukunya yang terkenal “Ayahku” menuliskan tentang awal mula Muhammadiyah masuk ke Minangkabau. Ketika itu ayahnya –Haji Rasul- melawat ke Yogyakarta, beliau bertemu dengan pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sangat besar sambutan Kyai Ahmad Dahlan kepada Haji Rasul, sebab Majalah al-Moenir (terbitan Padang yang salah satu redaksinya ialah Haji Rasul) ternyata telah sampai ke Yogyakarya, dan majalah tersebut menyokong faham ulama-ulama Muhammadiyah. Apatah lagi, konon Kyai Ahmad Dahlan juga satu guru dengan Haji Rasul di Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916). Bertemulah kedua ulama ini dengan hangatnya; keduanya saling isi-mengisi, Haji Rasul memberikan ide-ide segar kepada Kyai Ahmad Dahlan, dan Kyai Ahmad Dahlan menitipkan Muhammadiyah kepada Haji Rasul.

Pada tahun 1925, menurut cacatan Buya Hamka, pulanglah Haji Rasul ke kampung halamannya Sungai Batang, Maninjau. Di Sungai Batang ini pertama sekali dibuka cabang Muhammadiyah untuk daerah Minangkabau. Dibentuk sebuah pengurus cabang yang diisi oleh murid-murid Haji Rasul, termasuk anak beliau, Buya Hamka, namun Haji Rasul tidak pernah tercatat menjadi anggota Muhammadiyah, meski beliau dalam muktamar-muktamar Muhammadiyah menjadi tetamu kehormatan, sederajat dengan Kyai Mas Mansur.

Meski digolongkan kepada “Kaum Muda”, dan menjadi pionirnya, dan bertindak sebagai pembawa “Muhammadiyah” ke Minangkabau, Haji Rasul tetap dalam pendiriannya. Pendiriannya dalam soal agama dituangkan dalam karya tulisnya, yang sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 31 judul. Dari karya-karya ini kita bisa mengenal secara mendalam mengenai kepribadian dan pemikiran Haji Rasul sebenarnya, yang saat ini banyak disalahfahami oleh sebagian peneliti.

Salah satu karyanya yang cukup populer ialah “al-Syir’ah fi Radd ‘ala man Qala al-Qunut fi al-Shubh Bid’ah wa anna al-Jahr bi al-Basmallah Bid’ah aidhan” (Bukittinggi: Drukkerij Tsamaratul Ikhwan, 1938), yang secara sederhana judul ini bermakna: “al-Syir’ah (pengumuman) penolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan Bismillah bid’ah.” Dalam karyanya ini Haji Rasul mengupas dalil-dalil, berupa hadis-hadis dan qaul Fuqaha mengenai Qunut Subuh dan menjaharkan Bismillah. Kesimpulannya Qunut Subuh tidak bid’ah, malah sebaliknya, Qunut Subuh ialah sunnat diamalkan. Begitu pula mengenai menjaharkan Bismillah dalam shalat Jahar (Shalat Maghrib, Isya dan Subuh berjama’ah) bukan merupakan Bid’ah, malah menjaharkan Bismillah disyari’atkan, terbentang dalam dalil-dalil yang sharih.


Foto: Kulit depan kitab "al-Syir'ah" karya Haji Rasul

Begitulah sosok ulama-ulama silam: baju boleh berupa-rupa warna, namun yang namanya prinsip pantang diubah, dianjak, digeser walau sedikitpun; mereka ialah ulama-ulama yang berprinsip dan teguh dalam prinsip tersebut sampai badan berkalang tanah. Begitu pula yang dipegang oleh generasi yang digolongkan kepada “ulama modernis” berikutnya, seperti Prof. Mahmud Yunus, Buya Hamka dan Buya MD Dt. Palimo Kayo. Saya mendapat kesaksian mata dari tokoh-tokoh yang pernah menyaksikan mereka ini. Dari Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (87 tahun), Pimpinan Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh, saya mendapat kesaksian pandangan mata beliau, ketika Mahmud Yunus dan Buya Datuak Palimo Kayo ketika diundang ke Batu Hampar, mereka dijadikan imam shalat Subuh, dan mereka berqunut subuh. Begitu juga Buya Hamka, ketika mengimami shalat Subuh di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang juga berqunut subuh. Hal ini diungkap oleh Abuya Drs. H. Abdul Jalal, dosen senior Ushul Fiqih dan Fiqih IAIN Imam Bonjol Padang.

Al-Fatihah.....
Rahimahumullah, semoga mereka –ulama besar Minangkabau itu- mendapat tempat yang selayak-layaknya di sisi Allah. Amin.


Ditulis di sisi Mesjid Jami’ Shalihin “Muhammadiyah” Padang Batang,
Diwaktu subuh, 17 Dzulhijjah 1434/ 22 Oktober 2013.
ditangan faqir yang berlumur dosa, Apria Putra.

Senin, 07 Oktober 2013

Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Putri Bengkawas Tinggal Sejarah

Oleh: al-Faqir al-Haqir Apria putra
Berdasarkan ziarah ke Makam Ummi Hajjah Syamsiyah Abbas Bengkawas, dan kunjungan ke bekas kompleks MTI Putri Bengkawas. Kamis/ 3 Oktober 2013.

Dikalangan ulama muda terkenal Diniyyah Putri Padang Panjang sebagai ikon sekolah agama khusus perempuan, sedangkan dikalangan ulama Tarbiyah Islamiyah (ulama tua) dikenal Madrasah Tarbiyah Islamiyah Putri Bengkawas sebagai wadah pendidikan perempuan. Pendidikan perempuan telah menjadi salah satu perhatian dikalangan ulama Minangkabau. Berbagai-bagai artikel untuk mengedepankan pendidikan agama dikalangan kaum hawa banyak bermunculan diberbagai media masa (majalah) ketika itu, yaitu diawal abad 20 tersebut. Hal ini paling tidak telah banyak diungkap oleh berbagai peneliti, diantaranya Jeffrey Hadler lewat disertasinya “Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesian through jihad and Colonialism” (2008). Namun, dikalangan ulama surau hal ini menjadi satu trobosan baru, dan “MTI Putri Bengkawas” menjadi model yang cocok peningkatan pendidikan agama; pencetak ulama perempuan.

MTI Putri Bengkawas didirikan pada tahun 1940, didirikan oleh seorang ulama perempuan dari Luak Agam, yaitu Ummi Hj. Syamsiyah Abbas binti Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. Beliau ialah saudara dari ulama terkemuka, Abuya H. Sirajuddin Abbas. Keulamaan –Ummi Syamsiyah- dibuktikan telah karangannya yang populer dalam menengahi perdebatan dengan ulama-ulama Muda. Beliau, Ummi, juga terkemuka karena dipercaya menduduki posisi-posisi penting dalam mengisi kemerdekaan.

MTI Bengkawas telah memainkan peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan agama perempuan dalam wadah Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Dari 360 madrasah (baca: Pesantren), menurut data tahun 1954, yang dinaungi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, baru MTI Bengkawas yang diketahui menyelenggarakan pelajaran agama khusus perempuan.

Meski telah mencapai masa jaya, MTI Bengkawas terkena musibah sebagaimana yang menimpa sekolah-sekolah agama (baca: Pesantren) ketika itu. Berbagai peristiwa, apakah itu peperangan dan sejenisnya, telah menjadi perintang keberlanjutan surau dan madrasah di Minangkabau. Hal ini pulalah agaknya yang menimpa MTI Bengkawas; ia terhanyut waktu, sehingga sisa gedung madrasah ini saja yang dapat kita temui saat ini.

Inilah sejarah yang dapat kita kenang; kenangan atas ulama-ulama Minangkabau silam.


Foto: Bagian depan bekas gedung MTI Putri Bengkawas


Foto: Rumah Ummi Syamsiyah Abbas di komplek MTI Bengkawas


Foto: Gedung MTI Bengkawas, yang kemudian dimanfaatkan oleh "STIKES Fort de Kock"


Foto: Rumah Ummi, sekaligus sebagai asrama


Foto: Gedung MTI yang kemudian digunakan sebagai "play group"


Foto: bekas gedung MTI Putri Bengkawas


Foto: Makam Ummi Syamsiyah Abbas

Sungai Antuan,
Luak Limo Puluah Kota.

al-Faqir al-Haqir Apria putra al-masyhur bi-Angku Mudo Khalisi

Yang Berjasa, yang Terlupakan (Bag. 2): Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi “Beliau Kumango” (1812-1932), Ulama Besar Tarikat Sammaniyah dan Pencipta Silek Kumango

Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.

Kumango, Sungai Tarab, Tanah Datar, negeri yang agamis, kaya dengan budaya, dan sebenarnya menjadi sebuah kebanggaan Ranah Minangkabau. Rumah-rumah gadang dengan gonjong menjulang memenuhi kampung, surau-surau lama yang berusia lebih seabad berdiri kokoh, tokoh-tokoh agama (ulama) dari daerah ini terkemuka sampai ke Tanah Suci Mekah.

Sebuah aliran Silek Tuo lahir di daerah ini, itulah Silek Kumango “Lahia Mancari Kawan, Batin mencari Tuhan”, yang kental dengan unsur Islam. Silek ini kemudian terkenal luas, sampai ke Amerika hingga negeri Belanda. Luar biasa memang. Kabarnya, tersebab silek ini banyaklah orang-orang non Muslim tertarik untuk mempelajari Islam, hingga menjadi mu’allaf belaka. Dari sini pula, Kumango, berpangkal Tarikat Samaniyyah, sebuah ilmu Tarekat Mu’tabar yang berperan dalam mempertahankan negeri dari penjajah. Tercatat, tarekat Saman yang berhulu ke Kumango ini menyebar sampai ke Thailand dan Malaysia, dan memainkan peran dalam sosio-kultural masyarakat di daerah tersebut.

Siapa ulama besar Kumango itu? Yang bila kita kenang akan membuat mata meleleh, bila kita kunjungi akan menyebabkan haru itu, beliaulah al-‘Alim al-Wara’ Maulana Syekh Abdurrahman bin Khatib ‘Alim Kumango al-Sammani al-Khalidi Naqsyabandi. Ulama besar yang satu ini cukup istimewa, di samping syekh-syekh besar Tarekat lainnya.

Menurut salah satu sumber Syekh Kumango tersebut lahir pada tahun 1812 dan wafat ditahun 1932. Nama kecil Beliau ialah “Alam Basifat”. Pada mulanya Beliau mengaji kepada Syekh Abdurrahman Batu Hampar Payakumbuh terkenal itu. Namun kemudian Alam Basifat muda terpengaruh lingkungan di daerahnya yang membawanya untuk hidup gaya parewa.

Pada satu waktu beliau berdagang di Padang, ada seorang kakek yang membuatnya marah karena selalu nyinyir meminta uang, sehingga membuat darah Alam Basifat naik hendak menghajar si kakek, rupanya setelah berusaha keras hendak memukul si kakek bagaimanapun cara memukulnya, namun tak kena sasaran satu pun. Sehingga beliau mengaku dan hendak berguru kepada si kakek. Namun si kakek mengajukan persyaratan yang cukup pelik, Alam Basifat diperintahnya untuk mengikutinya di Mekah, di Mekah nanti Beliau akan bertemu lagi. Oleh kesungguhan Alam Basifat, Beliau terus jua mengikuti si kakek ke Mekah sebagai mana dijanjikan, sedangkan si kakek entah kemana saat itu, karena ulama saat itu masyhur keramat-keramatnya si kakek telah sampai dulu di Mekah. Alam Basifat pergi ke Mekah dengan berjalan kaki dari Minangkabau berjalan ke Sumatera Utara, kemudian terus ke Aceh dan lalu ke Thailand terus ke tanah Mekah.

Di Mekah beliau bertemu si Kakek dan mulai belajar agama dan istimewa Tharikat Sufiyah dengan beberapa ulama terkemuka di “Tanah Haram” kala itu. Tercatat Syekh Kumango di tanah suci selama 12 tahun menuntut ilmu, termasuk mengambil Tarekat Samaniyah di Madinah al-Munawwarah kepada Sayyidina Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan (mengenai riwayat Syekh ini dapat dilihat pada “Siyar wa Tarajum Ba’dh ‘Ulama’inan fi al-Qarn al-Rabi’ ‘asyr”). Alam Basifat kemudian dikenal dengan nama Abdurrahman, lengkapnya Syekh Abdurrahman Kumango al-Samani al-Khalidi.

Setelah Syekh Abdurrahman pulang ke kampung halamannya, beliau kemudian membuka surau yang dikenal dengan “Surau Subarang” untuk mengajar agama, khususnya Tarekat Samaniyah dan Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidi. Selain itu Beliau Kumango dikenal sebagai pencipta gerakan-gerakan ilmu “Silat Kumango” yang masyhur itu, sebuah silat yang sarat dengan aspek tasawuf dan filosofis yang “dalam”.

Saat ini, Surau Subarang masih berdiri. Surau kayu itu sudah lapuk, tua, tapi masih gagah. Silat Kumango masih diajar di surau ini, namun Tarekat Sammaniyah dan Tarekat Naqsyabandiyah tidak terdengar lagi.
Al-Fatihah...


Foto: Surau Syekh Kumango; tempat belajar agama dan silat, khususnya tarekat Samaniyah dan Naqsyabandiyah al-Khalidiyah


Foto: Surau Syekh Kumango; tempat belajar agama dan silat, khususnya tarekat Samaniyah dan Naqsyabandiyah al-Khalidiyah


Foto: Surau Syekh Kumango; Bagian dalam surau


Foto: Surau Syekh Kumango; lantai dua, tempat Suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah


Foto: Surau Syekh Kumango; bagian surau yang telah tua dimakan usia


Foto: Kubah Makam al-'Alim al-'Allamah Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango

Padang Batang, Sungai Antuan, Mungka.
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.