Rabu, 25 September 2013

Tangis di Makam Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Muhammad Jamil Tungkar

Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra
Berdasarkan perjalanan ziarah ke Barulak, Sabtu/ 14 September 2013.

Dua Ulama Besar

Dalam catatan sejarah yang lama-lama disebutkan nama besar Barulak sebagai pusat keilmuan Islam di abad ke-19. Pistorius misalnya, dalam “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden” menyebutkan kebesaran Syekh Barulak, seorang ulama besar yang pulang dari Mekah dan mempunyai pengaruh yang luas di kalangan penduduk. Martin van Brunessen dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Syekh Barulak merupakan salah satu dari sekian ulama yang mempunyai dedikasi dalam penyebaran Islam, khususnya dalam mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah. Wan Shagir Abdullah, seorang peneliti Naskah Melayu di Malaysia yang berasal dari Indonesia, menyebutkan dalam “Penyebaran Tarekat Mu’tabarah di Dunia Melayu”, bahwa Syekh Barulak, berikut Syekh Tungkar merupakan ulama-ulama yang terkemuka dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah. Dan masih banyak lagi sumber-sumber lain yang menyebutkan kebesaran dan ketenaran Syekh Barulak dan Syekh Tungkar ini.

Siapa Syekh Barulak itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Thahir bin Abdullah, atau yang dimasyhurkan dengan gelar “Beliau Barulak”, seorang ulama besar di abad 19. Dalam catatan yang ada kita temui informasi mengenai gurunya, yaitu Syekh Isma’il bin Abdullah al-Khalidi Simabur, ulama besar dalam Tarikat Naqsyabandiyah yang berdiam dan wafat di Mekah.

Siapa pula Syekh Tungkar itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Jamil, digelari dengan “Beliau Tungkar”, ia merupakan murid dari Syekh Barulak di atas. Ulama besar yang mempunyai murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar, seperti Syekh Abdullah Beliau Halaban, Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Ibrahim Beliau Aia Angek dan lainnya. Syekh Tungkar wafat di akhir abad 19, setelah bertahun-tahun mengajar agama, khususnya dalam Tarekat Naqsyabandiyah.

Syekh Barulak dan Syekh Tungkar, dua ulama besar, yang tidak dapat disangkal lagi pengaruh dan dedikasinya sebagai salah satu pejuang-pejuang agama di Tanah Andalas ini. Namanya disejajarkan dengan ulama-ulama besar Sumatera lainnya seperti Syekh Muhammad Yatim Padang, Syekh Abdul Halim Labuh, Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu, Syekh Abdul Fatah Natal, Syekh Jalaluddin Cangkiang, dll.

Tangis di Makam Barulak

Makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar berada dalam satu kubah di Mesjid Taqwa Barulak. Tidak sukar bagi kita untuk memastikan bahwa Mesjid ini dulunya ialah Surau Syekh Barulak, yang telah sekian lama dipugar dan dipugar, sehingga saat ini dikenal dengan “mesjid”. Bagunan tua Mesjid itu masih ditemui bekasnya, berupa bangunan batu dimana dindingnya dipenuhi oleh kaligrafi-kaligrafi yang indah. Sedangkan lantainya, berupa keramik dengan ubin khas klasik. Sedangkan kubah makam dua ulama yang berada di bagian mihrab berupa satu bagunan bergaya lama, mempunyai tiga labu-labu yang dibuat dari batu. Artistik memang.

Adalah saya, al-faqir, telah ziarah ke makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar mula-mula di tahun 2010. Ketika itu kondisi makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar yang berdampingan itu cukup nyaman. Namun mencengangkan, setelah al-faqir mengulang ziarah ke mawan beliau pada 14 September 2013, ruangan makam dua ulama besar itu telah menjadi gudang penyimpanan keperluan pertukangan, hingga pintu makam tertutup, entah oleh seng, bebatuan, atau lainnya. Tragis. Saat itu tangis berderai.

Bila ditanya kepada seorang nenek pemegang kunci macam, dengan enteng ia menjawab: “nanti kita baguskan lagi!”. Namun apakah ia tiada menaruh hiba? Pabila kedua makam ulama besar Minangkabau itu dijadikan gudang? Tiada terlihat dari raut wajahnya. Sungguh besar tangisku.

Urang Darek yang tidak menghargai Ulama

Dari beberapa tokoh nagari Barulak diperoleh keterangan, bahwa sebelum-sebelumnya telah ada niat seorang kaya yang hendak memperluas mesjid untuk menggusur Makam Syekh Thahir dan Syekh Tungkar itu. Dengan uang yang cukup, tinggal menggaji beberapa orang untuk membongkar makam dan memindahkannya, namun tanpa kesadaran bahwa akan melenyapkan monumen sejarah Islam di Sumatera Tengah ini. Maka samalah keadaannya dengan Wahabi di Mekah, membongkar monumen-monumen sejarah untuk perluasan atau dengan alasan lainnya, tentu dengan uang petrodollar yang besar.

Di sini terbukti benar ungkapan salah seorang Tuanku di Pariaman ketika saya berkunjung ke Ringan Ringan. Tuanku yang berasal dari Batusangkar itu, kontan berkata: “Orang-orang darek itu banyak yang tidak menghargai ulama.” Sehingga pusara, mawan makamnya tidak dirawat. Ironis. Sedangkan makam pahlawan-pahlawan bangsa saja diperbagus indah, bertuliskan “Taman Makam Pahlawan”, namun pahlawan-pahlawan agama dibiarkan semak tak terurus. Maka kaburlah sejarah Islam itu dihadapan anak-anak cucu kelak. Hal ini sudah banyak kita lihat, misalnya saja makam Syekh Harun Toboh Pariaman di Padang Panjang yang dibiar merimba, makam Syekh Abdullah Khatib Ladang Laweh, makam Syekh Abdullah Halaban di Tungkar, dll. Jangan tercengang bila nanti orang-orang Malaysia misalnya lebih tahu tentang sejarah Islam Minangkabau ini dibandingkan kita, sebab kita tidak sadar akan pentingnya monumen sejarah, apakah itu makam-makam ulama tadi atau situs Surau yang ditinggalkannya.

Kondisi Surau dan Makam saat ini

Surau Barulak, yang telah bermetamorfosis menjadi Mesjid Taqwa itu kini telah megah. Keramik-keramik mengkilat menggantikan kaligrafi-kaligrafi indah, atau marmer klasik. Namun, keindahan masa kini telah menghilangkan bekas-bekas sejarah penyebaran Islam oleh Syekh Thahir di lokasi ini. Tidak ada lagi Tarekat Naqsyabandiyah, mungkin malah ia telah dimusuhi? Tidak ada lagi mengaji kitab kuning, mungkin telah dianggap kuno ketinggalan zaman? Semua gambaran kejayaan surau Barulak hanya tinggal dalam catatan sejarah orang Belanda, atau tulisan-tulisan tangan ulama-ulama di negeri lain, atau sepenggal riwayat yang diterima dari orang tua-tua.

Ukiran indah khas Minangkabau di gobah-gobah mesjid ini niscaya sebentar lagi akan dibongkar, ditukar dengan keramik impor atau lainnya. Dinding kaligrafi indah mesjid ini akan diruntuh beberapa saat lagi. Lampu-lampu antik akan ditukar dengan bola philip atau lampu modern. Maka cerita Surau Barulak itu akan tinggal kenangan belaka.

Sayang sekali, Surau Syekh Thahir Beliau Barulak yang berpengaruh sejak tahun 1800-an itu tak sempat dilirik dinas Sejarah dan Kepurbakalaan, tak sempat lagi dicatat menjadi salah satu benda cagar budaya, sehingga orang-orang kini leluasa membongkar dan mengganti monumen sejarah perjalanan Islam ini.


Foto: Mesjid Taqwa (baca: Surau Barulak) ketika dipugar. (2013)


Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang (2013)

Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang. Dibelakang tumpukan seng itu Makam Syekh Muhammad Jamil Tungkar (2013)

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Setiap tahun masih ramai orang-orang menziarahi Makam Syekh Thahir dan Syekh Jamil ini, tentu orang-orang dari jauh-jauh. Mereka mengenang guru dari pada ulama-ulama mereka, sambil berdo’a, mengirimkan bacaan al-Fatihah untuk beliau. Hanya kepingan sejarah, khitmat orang-orang dari jauh-jauh itu yang akan abadi. Sebab mereka tak pernah lupa dengan guru mereka, dan tak lupa akan ilmu yang diwariskan oleh dua ulama besar ini.


Padang Batang, Sungai Antuan. Mungka.
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.

Selasa, 10 September 2013

Yang berjasa, yang terlupakan (Bag. 1): Syekh Abdullah Khatib (w. 1890) gelar “Beliau Ladang Lawas”

Oleh: Hamba Allah yang dha’if Apria Putra
Ditulis berdasarkan ziarah ke makam Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas”, Banuhampu, Agam. Selasa, 27 Agustus 2013, bertepatan dengan Syawal 1434 H. Dilengkapi dengan catatan-catatan tua dari Prof. Mahmud Yunus, Syekh Yunus Yahya Magek dan Abuya H. Sirajuddin Abbas.

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.


Ulama-ulama besar masa silam yang terlupakan dari Ladang Lawas

Ladang Lawas, Banuhampu, ialah sebuah daerah yang terletak di lereng gunung Merapi, termasuk kawasan Luak Agam. Sejak berabad silam Ladang Lawas telah menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang mempunyai nama yang harum seantero Minangkabau. Beberapa daripadanya merupakan ulama kosmopolitan yang menorehkan tinta emas dalam perjalanan agama Islam di bumi Minangkabau. Di antara ulama-ulama yang pernah mukim dan memapankan karirnya di Ladang Lawas, di antara yang dapat kita catat, seperti Syekh Abdussalam Banuhampu yang hidup pada pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, Syekh Muhammad Abbas yang lebih dikenal dengan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh (wafat pertengahan abad 20), Syekh Abdul Malik Gobah (wafat dipertengahan abad 20), sedangkan yang menjadi ulama tertua yang dapat dicatat dari daerah ini ialah Syekh Abdullah Khatib, atau yang lebih dimasyhurkan dengan “Beliau Ladang Lawas”, ulama besar di abad 19.
Pada tulisan kali ini kita akan mengenang ulama besar Minangkabau dari Ladang Lawas, yang menjadi salah satu mata rantai keilmuan Islam Minangkabau pada abad ke 19, namun sangat jarang dibicarakan, apakah oleh para “orang siak” (baca: santri) masa kini, ataupun oleh para peneliti. Beliau ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas, ulama tua yang menjadi guru dan panutan generasi ulama-ulama Minangkabau dimasa selanjutnya.

Syekh Abdullah Khatib dan kejayaan pendidikan Islam Minangkabau

Pada mawam makam beliau masih jelas inskripsi nisannya. Di sana tertulis “al-Fadhil Syekh Abdullah al-Khatib”, dengan khat naskhi yang cukup rapi. Dari nisan yang hampir hancur dimakan usia itulah informasi ringkas tentang pribadinya kita dapati. Beberapa orang yang ditanyai di sekitar makam tidak mengetahui siapa beliau, yang terucap hanya “beliau ulama tertua”. Syukur beberapa literatur lama (yang mungkin sekarang tidak dibaca dan dibuka oleh generasi-generasi muda) memberikan beberapa catatan perihal beliau Syekh Abdullah Khatib tersebut, sehingga masih terbuka celah bagi kita buat mengenal ulama besar yang satu ini.

(foto: al-faqir di makam Beliau Ladang Lawas, Agustus 2013)

Al-‘Allamah Prof. Mahmud Yunus, seorang tokoh pendidikan terkemuka dan ulama dari Batusangkar mencatat dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” bahwa di antara ulama-ulama Minangkabau di abad 19 yang menjadi ikon keilmuan Islam ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas ini. Namun, beliau tidak mengemukakan lebih lanjut perihal riwayat hidup Syekh tersebut, yang pasti Syekh Abdullah Khatib bersama ulama-ulama sezaman telah memainkan peran penting dalam transmisi keilmuan Islam, sehingga keilmuan Islam di Minangkabau dapat disebut setara dengan keilmuan Islam di Mekah. Sedangkan ketika itu Mekah menjadi pusat keilmuan. Hal ini dikarenakan Syekh Abdullah Khatib bertahun-tahun belajar agama dengan berbagai vak keilmuan di Mekah. Ketika beliau kembali ke Minangkabau, melalui lembaga surau, beliau terapkan sistem Mekah di lembaga tersebut. Sehingga banyak orang-orang berdatangan menimba ilmu pengetahuan darinya, murid-murid ini kemudian meneladani pula sistem yang beliau pakai di daerahnya masing-masing. Demikian Prof. Mahmud Yunus.

Dalam catatan tua Syekh Yunus Yahya Magek (1908-2000) dijelaskan lebih lanjut bahwa “Beliau Ladang Lawas” mempunyai dua keistimewaan yang membuat suraunya di Ladang Lawas terkenal diantara penuntut-penuntut ilmu kala itu, yaitu (1) keilmuan yang dimilikinya dalam bidang keagamaan sangat mendalam; (2) sistem pelajaran dan kitab yang diterapkannya di Surau Ladang Lawas ialah sistem dan kitab yang dipakai oleh lembaga-lembaga pendidikan di Mekah. Maka wajar bila Surau Syekh Ladang Lawas mempunyai nama besar, sering menjadi model percontohan dikalangan ulama-ulama kala itu. Tercatat bahwa ulama besar Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh (1954-1922) perlu mengadakan perjalanan ke Ladang Lawas, disamping untuk menemui Beliau Ladang Lawas tersebut, beliau Sa’ad juga mengadakan semacam studi banding, sehingga ketika Syekh Sa’ad pulang ke Mungka (Suliki, Payakumbuh), beliau berupaya pula untuk menerapkan model pendidikan yang dipakai Syekh Ladang Lawas tersebut.

Demikian catatan yang ada.

Syekh Abdullah Khatib dan ulama-ulama besar Minangkabau

Dalam catatan-catatan yang ada disebutkan bahwa Syekh Abdullah Khatib mempunyai 2 orang murid yang menjadi ulama besar dikemudian hari. Dua ulama besar itu ialah (1) Syekh Yahya al-Khalidi Magek; dan (2) Syekh Abdullah “Beliau Halaban” (w. 1926).

Syekh Abdullah Halaban, atau yang lebih dikenal dengan gelar “Beliau Halaban” (Beliau Loban), ulama besar yang diakui kealimannya di Tigo Luak (Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota). Beliau terkemuka dikalangan ulama-ulama semasa karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu keagamaan yang pelik-pelik, seperti fiqih, ushul fiqih dan mantiq. Di antara murid-muridnya yang terkemuka ialah (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Muhammad Jamil Jaho; (3) Syekh Ibrahim Harun Tiakar Payakumbuh; (4) Syekh Syarif Lintau; (2) Syekh Muhammad Ruslan Limbukan Payakumbuh; (3) dan lain-lainnya.
Syekh Yahya al-Khalidi dikenal sebagai ulama besar, seorang sufi yang memegang tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Syekh Yahya mempunyai surau terkemuka di Magek Kamang. Surau tersebut bernama Surau Baru, yang kemudian menjadi salah satu pusat keilmuan pula di Luak Agam. Di antara murid-murid Syekh Yahya Magek yang kemudian menjadi ulama besar ialah, (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh Banuhampu; (3) Syekh Sulaiman Ghani Magek; (4) Syekh Mahmud Abdullah Tarantang Harau Payakumbuh; (5) anak beliau, Syekh Yunus Yahya Magek; (6) dan banyak lagi lainnya.

Dari jaringan murid-murid yang berhulu dari “Beliau Ladang Lawas” ini, dapat dikatakan bahwa “Beliau Ladang Lawas” sebagai guru dari guru ulama-ulama besar Minangkabau. Beliau menjadi teladan, mata rantai keilmuan, hingga sampai kepada ulama-ulama kita saat sekarang ini, terutama ulama-ulama yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Mawan Syekh Abdullah Khatib dan situasi masa kini

Lebih seabad sudah Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas” wafat. Makamnya masih dapat dikenali meski telah rimbun ditumbuhi semak-semak liar. Makamnya terletak dalam satu kubuh yang masih kokoh meski berusia tua. Dalam kubah tersebut, selain makam beliau, terdapat pula batu mejan lainnya, yang tidak dikenali siapa yang bermakam di situ.
Demikianlah sepenggal riwayat seorang ulama besar Minangkabau, guru dari guru ulama-ulama Minangkabau. Semoga kita semakin mempunyai kesadaran dalam mengenang, meneladani perjuangan ulama silam, dan mempunyai kesadaran untuk merawat pusaranya, serta kesadaran dalam menghargai orang-orang yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau ini.


Sungai Antuan
Mungka, negerinya ulama-ulama di masa silam.

al-faqir Apria Putra al-Khalidi Naqsyabandi