Oleh: al-Faqir Apria Putra
Tafsir al-Qur’an ialah salah satu vak keilmuan terpenting yang dipelajari
oleh seorang urangsiak (santri) di surau. Ketika surau masih menjadi pusat
intelektual Islam, jauh sebelum adanya sistem klasikal di awal abad 20, Tafsir
al-Qur’an menjadi bidang yang diminati. Sakin diminati, ada surau-surau
tertentu di Pedalaman Minangkabau yang mengebangkan spesialisasi Tafsir
al-Qur’an, sehingga terdengar pameo di kalangan urangsiak: “Bila hendak belajar
Tafsir maka pergilah ke Surau Tuanku itu, Tuanku ini, dan sebagainya.” Hal ini,
selain menunjukkan bahwa surau pada masa itu (Abad 19) telah membangun ciri
khas keilmuan masing-masing, juga membuktikan bahwa Tafsir al-Qur’an saat itu cukup
berkembang.
Dari kalam nostalgia orang tua-tua kita dengar, di masa kanak-kanak setelah
mengkhatam al-Qur’an dengan perayaan yang meriah mereka akan belajar tata
bahasa Arab, kemudian dilanjutkan belajar Tafsir al-Qur’an. Kitab tafsir yang
sangat populer saat itu ialah Tafsir Jalalain yang ditulis oleh dua Imam dari
kalangan Mazhab Syafi’i, yaitu Imam Suyuthi dan Imam Mahalli. Konon, sebab
populernya tafsir ini karena pemahamannya yang mudah dan sifatnya sangat
membantu urangsiak dalam mengasah Bahasa Arab. Tafsir ini mempunyai kekhasan,
yaitu tafsir perkata, di mana ketika seorang urangsiak telah tuntus
mempelajari, maka ia telah mempunyai kosa kata yang kaya, siap untuk
melanjutkan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi, apakah fiqih, ushul, hadis,
dan tasawuf. Umumnya Tafsir Jalalain dikhatam ketika masih remaja. Tak jarang
seorang remaja mengkhatamnya berulang-ulang, sebab di sebagian surau terdapat
tradisi tadarusan Tafsir Jalalain, di mana di bulan Ramadhan mereka bukan hanya
mentadarus al-Qur’an tapi juga Tafsir Jalalain yang ditamatkan berulang kali.
Demikian lah kejadian di masa lalu.
Niscaya dari kecintaan kepada al-Qur’an dan Tafsir yang dilandasi oleh
Jalalain itulah ulama-ulama Minangkabau kemudian hari menulis Tafsir al-Qur’an
tersendiri. Sebenarnya, sebelum para ulama Minang menulis tafsir, telah beredar
Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurra’uf al-Fanshuri Aceh. Syekh
Abdurra’uf begitu masyhur di Minangkabau, terutama di Pesisir Barat, karena
beliau merupakan guru dari ulama sufi besar Syekh Burhanuddin Ulakan. Namun tak
banyak rekaman sejarah mengenai posisi Tafsir Tarjumanul Mustafid dalam
komposisi kurikulum surau waktu itu. Hampir semua surau menjadikan Jalalain
menjadi kitab daras, bukan yang berbahasa Melayu sebagai Tarjuman Mustafid.