Kamis, 25 September 2014

Khazanah Tafsir al-Qur’an karya Ulama Minangkabau


Oleh: al-Faqir Apria Putra

Tafsir al-Qur’an ialah salah satu vak keilmuan terpenting yang dipelajari oleh seorang urangsiak (santri) di surau. Ketika surau masih menjadi pusat intelektual Islam, jauh sebelum adanya sistem klasikal di awal abad 20, Tafsir al-Qur’an menjadi bidang yang diminati. Sakin diminati, ada surau-surau tertentu di Pedalaman Minangkabau yang mengebangkan spesialisasi Tafsir al-Qur’an, sehingga terdengar pameo di kalangan urangsiak: “Bila hendak belajar Tafsir maka pergilah ke Surau Tuanku itu, Tuanku ini, dan sebagainya.” Hal ini, selain menunjukkan bahwa surau pada masa itu (Abad 19) telah membangun ciri khas keilmuan masing-masing, juga membuktikan bahwa Tafsir al-Qur’an saat itu cukup berkembang.

Dari kalam nostalgia orang tua-tua kita dengar, di masa kanak-kanak setelah mengkhatam al-Qur’an dengan perayaan yang meriah mereka akan belajar tata bahasa Arab, kemudian dilanjutkan belajar Tafsir al-Qur’an. Kitab tafsir yang sangat populer saat itu ialah Tafsir Jalalain yang ditulis oleh dua Imam dari kalangan Mazhab Syafi’i, yaitu Imam Suyuthi dan Imam Mahalli. Konon, sebab populernya tafsir ini karena pemahamannya yang mudah dan sifatnya sangat membantu urangsiak dalam mengasah Bahasa Arab. Tafsir ini mempunyai kekhasan, yaitu tafsir perkata, di mana ketika seorang urangsiak telah tuntus mempelajari, maka ia telah mempunyai kosa kata yang kaya, siap untuk melanjutkan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi, apakah fiqih, ushul, hadis, dan tasawuf. Umumnya Tafsir Jalalain dikhatam ketika masih remaja. Tak jarang seorang remaja mengkhatamnya berulang-ulang, sebab di sebagian surau terdapat tradisi tadarusan Tafsir Jalalain, di mana di bulan Ramadhan mereka bukan hanya mentadarus al-Qur’an tapi juga Tafsir Jalalain yang ditamatkan berulang kali. Demikian lah kejadian di masa lalu.

Niscaya dari kecintaan kepada al-Qur’an dan Tafsir yang dilandasi oleh Jalalain itulah ulama-ulama Minangkabau kemudian hari menulis Tafsir al-Qur’an tersendiri. Sebenarnya, sebelum para ulama Minang menulis tafsir, telah beredar Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurra’uf al-Fanshuri Aceh. Syekh Abdurra’uf begitu masyhur di Minangkabau, terutama di Pesisir Barat, karena beliau merupakan guru dari ulama sufi besar Syekh Burhanuddin Ulakan. Namun tak banyak rekaman sejarah mengenai posisi Tafsir Tarjumanul Mustafid dalam komposisi kurikulum surau waktu itu. Hampir semua surau menjadikan Jalalain menjadi kitab daras, bukan yang berbahasa Melayu sebagai Tarjuman Mustafid.