Selasa, 15 Juli 2014

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Mengajarkan Pentingnya Tarekat Sufi

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ialah salah seorang tokoh ulama Nusantara dari Minangkabau yang mempunyai reputasi penting dalam jaringan ulama negeri bawah angin pada awal abad 20. Ketokohannya barangkali bisa disetarakan oleh Syekh Nawawi al-Jawi Banten yang dikenal sebagai Sayyid Ulama Hijaz tersebut, meskipun dalam segi keilmuan Syekh Ahmad Khatib berada di bawah level ulama Banten tersebut. Ulama-ulama besar yang umumnya yang berkarir di Dunia Melayu hampir semuanya merupakan murid Syekh Ahmad Khatib. Ketokohan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan kepopulerannya disebabkan oleh prestasinya sebagai Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjid Haram, Makkah. Selain itu, hal yang membuat namanya melambung ialah polemik-polemiknya dengan ulama-ulama se zaman dengannya. Untuk kasus Minangkabau, ia merupakan sosok yang kritis terhadap adat pusaka dan amalan Tarekat Naqsyabandiyah. Mengenai adat pusaka, ia menentang tradisi mewariskan harta pusaka yang telah menjadi adat kebiasaan di kampung halamannya itu. Dalam risalah “al-Da’i al-Masmu’ yang kemudian ia terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Melayu dan diberi judul Minhaj al-Masyru’ ia mengecam pembahagian harta pusaka kepada kemenakan. Menurutnya adat pusaka itu terlarang di mana harta tersebut jatuh kepada syubhat. Ia menekankan pentingnya Faraidh dalam pembahagian harta pusaka itu. Kecamannya terhadap harta pusaka mendapat tanggapan dari ulama-ulama Minangkabau, di antaranya Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Payakumbuh (w. 1920) yang menyindirnya dalam kitab “Tanbih al-‘Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam” (1910). Tantangan terhadap Khatib di Makkah ini juga datang dari murid-muridnya, salah seorang di antara mereka ialah Syekh Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan Inyiak Rasul, ia menyatakan bahwa yang harta yang diwariskan di Minang secara adat itu hanya harta pusaka tinggi yang termasuk kategori harta Musabalah yang pewarisannya berdasarkan hibah, sedangkan untuk harta pencarian tetap diwariskan menurut Faraidh (Tulisan terbaik mengulas Harta Pusaka dan pewarisannya di Minangkabau itu ialah disertasi Prof. Amir Syarifuddin yang berjudul “Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau”).